Pada zaman dahulu, ketika Sayyidina Umar bin Khattab sedang mengadakan perjalanan dari Madinah ke Mekkah. Di tengah perjalanan ia melihat seorang pemuda yang sedang menggembala kambing dalam jumlah yang sangat banyak.
Khalifah Umar lalu mendekati pemuda itu dan mengutarakan niatnya untuk membeli seekor kambing.
“Wahai anak muda! Bolehkah aku membeli seekor kambing yang sedang engkau gembala?” tanya Sayyidina Umar.
“Saya ini hanya seorang budak, Tuan. Saya tidak memiliki kewenangan untuk menjual kambing ini. Semua kambing ini milik majikan saya,” jawab si penggembala dengan jujur.
“Meskipun kambing ini milik majikanmu, kalau saya beli satu pasti majikanmu tidak akan tahu. Nanti kamu ceritakan kepadanya bahwa kambing yang kamu gembala dimakan macan satu ekor,” ujar Sayyidina Umar menguji kejujuran pemuda itu.
Mendengar ajakan itu, pemuda itu memandang Sayyidina Umar sejenak. Si pemuda itu pun berkata, “Apa yang tuan katakan memang benar. Jika kambing yang saya gembalakan ini hilang satu, majikan saya pasti tidak melihatnya. Apalah arti satu kambing baginya.”
“Lantas apa yang membuatmu ragu untuk menjualnya kepadaku?” tanya Sayyidina Umar.
“Meskipun majikan saya tidak melihat jika kambingnya hilang satu. Tapi, Allah Maha Melihat lagi Maha Mengetahui apa yang saya lakukan. Inilah keyakinanku, Tuan.”
Mendengar jawaban pemuda itu, Sayyidina Umar pun memeluknya sambil meneteskan air mata. Kemudian meminta si pemuda penggembala itu mengantarkannya kepada sang majikan.
Setelah bertemu dengan majikan si pemuda tersebut, Sayyidina Umar kemudian membeli harga pemuda itu untuk dimerdekakan dari perbudakan. Selain itu, semua kambing yang digembalakannya tadi juga diborong dan menjadi hak milik si pemuda sebagai hadiah atas kejujurannya.
Nah, adik-adik! Pelajaran penting dari kisah di atas adalah:
Khalifah Umar lalu mendekati pemuda itu dan mengutarakan niatnya untuk membeli seekor kambing.
“Wahai anak muda! Bolehkah aku membeli seekor kambing yang sedang engkau gembala?” tanya Sayyidina Umar.
“Saya ini hanya seorang budak, Tuan. Saya tidak memiliki kewenangan untuk menjual kambing ini. Semua kambing ini milik majikan saya,” jawab si penggembala dengan jujur.
“Meskipun kambing ini milik majikanmu, kalau saya beli satu pasti majikanmu tidak akan tahu. Nanti kamu ceritakan kepadanya bahwa kambing yang kamu gembala dimakan macan satu ekor,” ujar Sayyidina Umar menguji kejujuran pemuda itu.
Mendengar ajakan itu, pemuda itu memandang Sayyidina Umar sejenak. Si pemuda itu pun berkata, “Apa yang tuan katakan memang benar. Jika kambing yang saya gembalakan ini hilang satu, majikan saya pasti tidak melihatnya. Apalah arti satu kambing baginya.”
“Lantas apa yang membuatmu ragu untuk menjualnya kepadaku?” tanya Sayyidina Umar.
“Meskipun majikan saya tidak melihat jika kambingnya hilang satu. Tapi, Allah Maha Melihat lagi Maha Mengetahui apa yang saya lakukan. Inilah keyakinanku, Tuan.”
Mendengar jawaban pemuda itu, Sayyidina Umar pun memeluknya sambil meneteskan air mata. Kemudian meminta si pemuda penggembala itu mengantarkannya kepada sang majikan.
Setelah bertemu dengan majikan si pemuda tersebut, Sayyidina Umar kemudian membeli harga pemuda itu untuk dimerdekakan dari perbudakan. Selain itu, semua kambing yang digembalakannya tadi juga diborong dan menjadi hak milik si pemuda sebagai hadiah atas kejujurannya.
Nah, adik-adik! Pelajaran penting dari kisah di atas adalah:
- Sebagaimana kisah seorang pemuda dan Sayyidina Umar, meskipun orang lain tidak melihat kejahatan atau perbuatan yang kita lakukan, tapi Allah Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.
- Karena pemuda itu sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka ia takut untuk berkata bohong atau dusta. Oleh karena itu, pemuda itu berkata jujur apa adanya.
![]() |
Ilustrasi |
Komentar
Posting Komentar