Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Ia lahir di Bonang (Tuban) kira-kira pada tahun 1465 Masehi. Nama kecil Sunan Bonang adalah Raden Makdum atau Maulana Makdum.
Sejak kecil, Radem Makdum sudah rajin belajar ilmu agama kepada ayahnya. Dia juga disiplin. Raden Makdum pernah belajar di Aceh kepada ayah Sunan Giri. Ketika di Aceh, Raden Makdum berteman akrab dengan Sunan Giri.
Setelah menimba ilmu, Raden Makdum diperintah oleh ayahnya (Sunan Ampel) untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Tuban, Pati, Maduran dan Pulau Bawean. Raden Makdum disebut Sunan Bonang karena ketika mengajarkan Islam, dia menggunakan Bonang. Bonang itu adalah alat musik gamelan yang terbuat dari kuningan.
Raden Makdum pandai memainkan alat music itu sehingga ketika dia memainkan alat music Bonangnya di masjid, orang-orang jadi tertarik untuk datang ke masjid dan belajar Islam kepadanya.
Bahkan Raden Makdum mampu mengalahkan para perampok dan penjahat hanya dengan memainkan alat musik Bonangnya itu. Dengan memukul Bonangnya, maka para penjahat yang mau melawannya tidak bisa bergerak sambil menutup kedua telinganya. Sejak itulah nama Raden Makdum terkenal hingga ke luar negeri.
Konon ada seorang Brahma sangat sakti dari India. Dia berlayar dari India menuju Tuban untuk mengadu ilmu kesaktian dengan Sunan Bonang. Tapi sayang, ketika sudah mau sampai di pantai kapalnya karam karena diterpa badai. Kitab-kitabnya yang berisi mantera-mantera kesaktiannya pun tenggelam ke dalam laut. Beruntung sang Brahma masih bisa berenang hingga pantai. Di pantai itu dia bertemu dengan seorang laki-laki tua yang berdiri sambil memegang tongkat.
“Tuan dari mana? Apa yang terjadi dengan tuan?” tanya laki-laki tua itu.
“Saya adalah seorang Brahma. Saya berasal dari India,” jawab si Brahma.
“Hendak pergi kemana tuan jauh-jauh dari India?”
“Saya mau ke Tuban. Saya mendengar bahwa di Tuban ada seseorang yang sangat sakti. Dia dikenal dengan julukan Sunan Bonang,” kata si Brahma.
“Mau apa tuan bertemu dengan dia?”
“Saya mau adu ilmu kesaktian dengannya. Tapi sayang, sebelum saya tiba di pantai ini, kapal saya karam. Kitab-kitab kesaktian saya juga tenggelam ke dasar laut.”
Laki-laki tua yang dari tadi berdiri sambil memegang tongkat itu kemudian mengangkat tongkatnya. Seketika air memancar dari lubang bekas tongkat itu. Air itu begitu deras memancar. Dan ajaibnya, kitab-kitab sang Brahma juga ikut keluar bersama air yang memancar deras itu.
“Apa itu kitab-kitab tuan?” tanya laki-laki tua itu kepada si Brahma.
“Benar. Itu kitab-kitab saya yang tenggelam bersama kapal saya. Maaf, tuan. Siapa sebenarnya tuan ini?” tanya si Brahma.
“Saya adalah orang yang tuan cari,” jawab laki-laki tua itu yang tidak lain adalah Sunan Bonang. Si Brahma itupun berlutut di depan Sunan Bonang. Dia mengakui kehebatan Sunan Bonang dan kemudian berguru kepadanya.
Dari kisah ini, kalian kita belajar bahwa sebagai sesama manusia kita tidak boleh sombong dan angkuh. Sebab kesombongan akan membuat kita dipermalukan oleh orang lain.
Sejak kecil, Radem Makdum sudah rajin belajar ilmu agama kepada ayahnya. Dia juga disiplin. Raden Makdum pernah belajar di Aceh kepada ayah Sunan Giri. Ketika di Aceh, Raden Makdum berteman akrab dengan Sunan Giri.
Setelah menimba ilmu, Raden Makdum diperintah oleh ayahnya (Sunan Ampel) untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Tuban, Pati, Maduran dan Pulau Bawean. Raden Makdum disebut Sunan Bonang karena ketika mengajarkan Islam, dia menggunakan Bonang. Bonang itu adalah alat musik gamelan yang terbuat dari kuningan.
Raden Makdum pandai memainkan alat music itu sehingga ketika dia memainkan alat music Bonangnya di masjid, orang-orang jadi tertarik untuk datang ke masjid dan belajar Islam kepadanya.
Bahkan Raden Makdum mampu mengalahkan para perampok dan penjahat hanya dengan memainkan alat musik Bonangnya itu. Dengan memukul Bonangnya, maka para penjahat yang mau melawannya tidak bisa bergerak sambil menutup kedua telinganya. Sejak itulah nama Raden Makdum terkenal hingga ke luar negeri.
Konon ada seorang Brahma sangat sakti dari India. Dia berlayar dari India menuju Tuban untuk mengadu ilmu kesaktian dengan Sunan Bonang. Tapi sayang, ketika sudah mau sampai di pantai kapalnya karam karena diterpa badai. Kitab-kitabnya yang berisi mantera-mantera kesaktiannya pun tenggelam ke dalam laut. Beruntung sang Brahma masih bisa berenang hingga pantai. Di pantai itu dia bertemu dengan seorang laki-laki tua yang berdiri sambil memegang tongkat.
“Tuan dari mana? Apa yang terjadi dengan tuan?” tanya laki-laki tua itu.
“Saya adalah seorang Brahma. Saya berasal dari India,” jawab si Brahma.
“Hendak pergi kemana tuan jauh-jauh dari India?”
“Saya mau ke Tuban. Saya mendengar bahwa di Tuban ada seseorang yang sangat sakti. Dia dikenal dengan julukan Sunan Bonang,” kata si Brahma.
“Mau apa tuan bertemu dengan dia?”
“Saya mau adu ilmu kesaktian dengannya. Tapi sayang, sebelum saya tiba di pantai ini, kapal saya karam. Kitab-kitab kesaktian saya juga tenggelam ke dasar laut.”
Laki-laki tua yang dari tadi berdiri sambil memegang tongkat itu kemudian mengangkat tongkatnya. Seketika air memancar dari lubang bekas tongkat itu. Air itu begitu deras memancar. Dan ajaibnya, kitab-kitab sang Brahma juga ikut keluar bersama air yang memancar deras itu.
“Apa itu kitab-kitab tuan?” tanya laki-laki tua itu kepada si Brahma.
“Benar. Itu kitab-kitab saya yang tenggelam bersama kapal saya. Maaf, tuan. Siapa sebenarnya tuan ini?” tanya si Brahma.
“Saya adalah orang yang tuan cari,” jawab laki-laki tua itu yang tidak lain adalah Sunan Bonang. Si Brahma itupun berlutut di depan Sunan Bonang. Dia mengakui kehebatan Sunan Bonang dan kemudian berguru kepadanya.
Dari kisah ini, kalian kita belajar bahwa sebagai sesama manusia kita tidak boleh sombong dan angkuh. Sebab kesombongan akan membuat kita dipermalukan oleh orang lain.
Ilustrasi |
Komentar
Posting Komentar